Dia Datang Lagi


Teman-temanku berkata, meskipun dengan nada bercanda, bahwa diriku yang sekarang sedikit berbeda dengan yang dulu. Katanya, aku lebih pendiam, lebih suka menyendiri, lebih suka melamun sendiri. Meskipun aku selalu mengikuti kemana pun mereka pergi, tapi bagi mereka ada sebagian diriku yang lain yang tidak berada di sini.

“Mana bisa?” tanyaku.

Andro, Denny, dan Hilman menjebakku dengan pernyataan itu. Tak kusadari sejak kapan mereka bertiga berada dalam formasi mengepungku. Andro tepat di depanku, sementara Denny dan Hilman juga tidak melepaskan perhatiannya dari samping.

“Kau belum pernah cerita, Rio,” ucap Andro lagi. “Sebelum ini kau sering menghilang. Jangan-jangan kamu diculik alien, ya?”

Kami pun tertawa bersama mendengar pernyataan Andro yang konyolnya menggelitik pikiranku. Namun, tawa kami langsung berhenti tatkala Denny menambahi, “Sungguh, di mana kamu selama ini, Rio?” Suaranya yang berat meredam keceriaan di sekitar kami.

Suasana kembali hening.

Kami berempat, entah sejak kapan begitu akrab dan sering keluar bersama. Kami tidak pernah saling menobatkan diri sebagai sahabat. Semua itu terjadi begitu saja seiring kebersamaan kami sejak masuk kuliah.

Baiklah, sedikit bercerita mengenai teman-temanku ini. Andro adalah yang paling dekat denganku. Dia sangat suka berbicara dan bercanda. Dia selalu dekat dengan siapa saja, termasuk aku. Andro itu selalu berusaha untuk nyambung dalam setiap percakapan. Oleh karenanya, tidak ada yang pernah menolaknya untuk turut dalam diskusi.

Denny, sedikit berkebalikan dengan Andro. Dia pendiam dan serius. Mungkin dia bukanlah orang yang paling pintar di sini, tapi kami pernah sepakat kalau dia adalah orang yang kami tuakan. Ya, sikap dan pemikirannya sangat dewasa. Andro pernah menanyainya, kenapa sangat senang jika berada di antara kami. Katanya, “Kalau lihat kalian, stresku hilang.”

Hilman adalah sumber ide dan inspirasi kami. Mungkin dia tidak pernah berusaha menonjol dalam setiap kelakuan tim kami, tapi setiap yang dia lakukan dan putuskan adalah yang terbaik bagi tim kami. Kami tidak tahu apa formulanya, seolah-olah dia melihat permasalahan dan tahu jawabannya dengan seketika.

Sementara aku, teman-teman memanggilku Rio, meskipun tak ada sedikit pun nama lengkapku mengandung kata “rio”. Ada yang pernah mengatakan kalau tidak ada aku, tim kami jadi sepi. Mungkin itu karena aku selalu menambahi candaan yang muncul. Aku memastikan keadaan tim kami selalu dalam situasi ceria, meskipun Andro saja sebenarnya sudah cukup melakukan hal itu.

“Ada yang ingin kau sampaikan, Rio?” tanya Hilman sambil mengintip wajahku yang tertunduk.

Aku membeku. Ada hal yang selama ini sengaja kubiarkan sebagai status rahasia. Aku adalah aku yang tetap membutuhkan ruang pribadi. Aku adalah orang yang tetap memerlukan space untuk hal-hal yang sifatnya privasi. Meskipun mereka bertiga sahabatku, tidak selamanya aku selalu memberitahukan keadaanku kepada mereka.

“Kau punya pacar!” tebak Andro tiba-tiba.

Apa?!

“Ah, benar sekali! Gelagatmu seperti orang yang takut pacarnya direbut,” Denny menambahi sambil menjitak kepalaku. Hilman tertawa. Suasana hening dalam sekejap pecah ditelan berbagai candaan tentangku yang sedang dimabuk cinta.

Aku hanya bisa tertawa dengan pasrah. Aku tidak mengiyakan, tapi juga tidak menyanggahnya. Aku hanya diam dan berpura-pura salah tingkah agar para sahabatku ini puas mengerjaiku.

“Kau ini, membuatku lapar saja! Ayo, makan!” seru Andro dengan semangatnya. Hilman langsung melompat mengikuti langkah Andro.

Ketika aku akan menuju ke arah yang sama, Denny segera menghentikanku.

“Ceritakan, Rio!” katanya. Selepas Andro dan Hilman, akhirnya tinggal aku dan Denny saja di kelas. “Kau sudah lama merahasiakan hal ini, kan? Aku tahu. Malahan, mungkin kau akan terkejut kalau aku tahu siapa pacarmu.”

Aku tertegun. Denny menekanku lagi.

“Aku juga punya pacar, Rio. Aku rahasiakan itu dari kalian semua. Jadi,” Denny mempersilahkanku untuk duduk lagi. “Ceritakanlah!”

Mungkin persahabatan yang terjalin di antara kami tidak cukup sehat. Ada banyak rahasia yang kami pendam, terutama masalah pacar. Aku, Denny, bahkan mungkin Andro dan Hilman juga menyembunyikan hal ini.

“Tidak ada,” kataku pada akhirnya. “Tidak ada yang harus kuceritakan, Denny.”

Mataku dan mata Denny beradu. Kami diam. Keseriusan khas wajah Denny pun berbicara, seolah-olah dia berusaha melihat diriku yang begitu dalam tersembunyi.

“Tidak, Denny!” batinku. “Hal ini tidak pantas untuk kuceritakan, termasuk kepadamu. Ini bukan pengalaman yang menyenangkan yang mungkin kau bayangkan. Biar hanya aku dan Tuhan yang tahu akan hal ini.”

Tanpa banyak bicara, Denny pun pergi. Meninggalkanku.

Bayanganku melompat pada sore hari yang begitu basah kemarin. Hujan lebat. Kegiatan kampus sudah selesai beberapa jam yang lalu. Andro, Denny, dan Hilman sudah pulang sejak siang karena aku ada keperluan sendiri dengan dosen pembimbingku.

Aku memandangi langit kelabu yang merata ke seluruh penjuru dan jarum-jarum air yang berjatuhan menghantam bumi. Pikiranku sedang  kosong. Kalau suasananya seperti ini, perasaanku selalu kembali tenggelam dalam perenungan-perenungan masa lalu. Rasa sedihku, penyesalanku, pertanyaanku yang tak terjawab, sejuta rasa penasaran, kebimbangan, hingga berbagai pertimbangan atas sebuah pilihan. Lalu sebuah wajah…

“Rio,” sebuah suara mengetuk pendengaranku, menembus bunyi hujan yang menderu-deru. Selagi wajah masa lalu itu hinggap di kepalaku, aku berbalik. Ternyata memang benar, dia yang memanggilku adalah wajah masa lalu itu.

Tiara, sebuah nama yang cantik untuk wajah masa lalu yang kelam. Begitu kelamnya hingga aku mengubur dalam-dalam semua kenangan yang pernah kulalui bersamanya. Waktu-waktu yang kucuri dari para sahabat hanya untuk bertemu dengannya, rasanya aku menyesal sudah melakukan hal itu.

“Rio, aku minta maaf,” katanya.

Aku diam dan hanya bisa melihat wajah Tiara yang penuh penyesalan.

“Semua kebodohanku… tidak melihat dirimu… semua yang kau lakukan…” Tiara sedang berusaha untuk menjelaskan sesuatu. Mungkin dia ingin menggambarkan betapa dirinya menyesal telah meninggalkanku.

Namun, aku masih diam. Aku berusaha mengubur kenangan itu. Aku sudah menggali lubang yang sangat besar dan dalam. Semua kenangan beraroma manis dan berwarna-warni itu sudah kuhempaskan ke dalamnya. Aku tinggal menutupinya dengan tanah. Sekop di tanganku. Aku tinggal mengubur semuanya, sedikit lagi.

“Aku masih mencintaimu, Rio!” tiba-tiba tangan Tiara menggenggam tanganku. Paru-paruku membeku. Dingin hujan menembus tiap pori di kulitku dan merasuk hingga berusaha menghentikan detak jantungku.

Gerakan menguburku terhenti. Aku melihat diriku yang lain menghentikan aksiku memendam memori-memori beraroma manis dan berwarna-warni. Dia melempar sekop yang sedang kugenggam.

“Apa benar ini yang kau inginkan?” tanyanya, yang tak lain adalah diriku sendiri. “Kau menyerah dengan semua ini? Kau pasrahkan semua setelah sekian banyak kenangan indah yang kalian rajut bersama?”

Aku diam.

“Kau tidak percaya dengan kesempatan kedua?”

Apakah aku harus menerimanya lagi? Apakah aku harus mengulangi semua dari awal, seolah tak pernah terjadi apa-apa? Apakah aku bisa memaafkannya?


Apa yang sebenarnya ada di benak Rio? Kejadian apa yang telah terjadi sehingga membuat hubungannya dan Tiara menjadi seperti ini? Mari kita baca bagian kedua di RAHASIA OTAK dengan judul SIMFONI 2 HATI.

NB: bagi yang mau langsung baca bagian ketiganya, ada di Erwinaziz’s Blog dengan judul Hujan Kemarin (tapi lebih disarankan untuk baca bagian keduanya dulu ya!)

Artikel ini diikutsertakan dalam Pagelaran Kecubung 3 Warna di newblogcamp.com.

28 thoughts on “Dia Datang Lagi

  1. Ping-balik: Simfoni 2 Hati « Rahasia Otak

  2. Terima kasih atas partisipasi sahabat.
    Saya akan melanjutkan perjalanan ke kisah selanjutnya
    Daftar seluruh peserta dapat dilihat di page Daftar Peserta Kecubung 3 Warna
    di newblogcamp.com
    Salam hangat dari Markas BlogCamp Group – Surabaya

  3. bagus L (aku panggil L aja ya hehe)
    awal yang bagus dan membuat penasaran, baiklah saya meluncur ke cerita kedua 😀
    sukses ya semog kita semua menang hehehe..

  4. tampaknya sulit melupakan dan meutup kisah lama yang begitu manis dan berwarna, ah,, cinta,, selalu saja pesonanya menyilau mata…

    sip, walaupun agak terlambat, Juri Kecub datang,, untuk mengecup karya para peserta,, mencatat di buku besar,, semoga dapat mengambil hikmah setiap karya dan menyebarkannya pada semua…

    sukses peserta kecubung 3 warna.. 🙂

  5. Sepertinya masih ada yang mengganjal pada Rio. Apakah ini yang dinamakan cinta kesempaan kedua? atau yang lain? Benar-benar cerita yang menarik
    Cerita sudah ditulis di buku besar juri, terima kasih

Tinggalkan Balasan ke Lambertus Wahyu Hermawan Batalkan balasan