“A..ada yang bisa beri tahu apa yang terjadi di sini?” tanya seseorang yang duduk paling belakang.
Sama seperti Tara, dia tak tahu apa yang menyebabkan kengerian ini. Selepas mati lampu, semua pegawai bioskop itu menghilang. Film tidak dilanjutkan. Semua penonton di Teater 3 ini seperti ditempatkan di dalam situasi dimana mereka harus pulang. Tak ada sesuatu yang bisa dilihat di sini.
“Halo!” seseorang berteriak ke arah belakang. Ke arah operator yang biasanya memutar film. “Ada orang di sana? Mana filmnya?”
Tak seorang pun menyahut.
“Sial! Padahal aku ingin melihat film ini!” keluh yang lain.
Tara berdiri di tengah penonton yang mengeluh. Mereka menyesali hal ini. Namun Tara merasakan hal yang lebih daripada itu. Pasti ada sesuatu yang tidak beres di sini. Dan seseorang yang duduk di depan Tara ini pasti mengetahui sesuatu sehubungan dengan menghilangnya para pegawai bioskop itu.
“Pulang saja!” ucap seseorang laki-laki dengan penuh kemarahan. Dia segera turun dari tempat duduknya.
“Memangnya kamu mau pulang kemana?” akhirnya orang di depan Tara kembali angkat bicara. Pertanyaannya aneh. Orang yang turun tadi langsung menghentikan langkahnya dan berpaling kepadanya. Begitu juga yang lain, kini memperhatikan orang itu.
Umurnya kelihatan tidak jauh di atas Tara. Seorang perempuan berkacamata dengan rambut diikat ke belakang. Dia masih berada di posisi duduk santainya. Ya, berbeda dengan yang lain, yang sudah siap meninggalkan Teater 3 ini.
“Pulang ke rumah lah!” jawab laki-laki tadi. Dia mengenakan jaket kulit yang tadi hanya disampirkan ke bahunya.
“Terlambat. Kita sudah tidak bisa pulang lagi,” jawab perempuan itu dengan suara yang begitu dalam.
“Hei, kalau ngomong jangan macam-macam ya!” seorang perempuan lain melabraknya. Dia terdengar tidak suka dengan ucapan menakutkan itu.
“Mmm… apa maksudmu kita tidak bisa pulang lagi?” seorang perempuan lain di belakang Tara bertanya dengan suara bergetar ketakutan.
Mendadak suasana semakin mencekam. Mereka yang ada di dalam bioskop itu terdiam, menantikan jawaban perempuan itu. Ada harapan di diri mereka kalau semua ini hanya main-main saja.
“Kita sudah kena kutukan,” jawab seorang pria bermata tajam yang tengah duduk di bangku depan paling ujung kanan. Dia tengah menyilangkan kakinya dan dia juga mengetahui apa yang diketahui perempuan itu. “Midnight. Dengan jumlah penonton tiga belas atau kurang dari itu, bisa dipastikan kalau tak akan ada yang selamat di antara kita semua.”
Tara ternganga. Dia masih belum mengerti dengan apa yang diketahui oleh kedua orang ini. Namun sementara pria itu melanjutkan kata-katanya, Tara melemparkan pandangannya ke seluruh penjuru teater. Dia mulai menghitung.
Satu, Tara sendiri. Dua, perempuan berkacamata di depannya. Tiga, pria yang juga mengerti masalah ini. Empat, pria berjaket kulit tadi. Lima, perempuan yang marah-marah. Enam, perempuan ketakutan di belakang Tara. Tujuh, pria kebingungan di bangku belakang. Delapan, pria yang tadi melambai ke ruang operator. Sembilan, pria yang terlihat sangat kecewa dengan terputusnya film ini. Sepuluh, perempuan yang tengah menangis di bangku depan. Sebelas, oh tidak… pria yang tengah sakau di dekat dinding sebelah kanan. Dua belas, pria bertopi di bangku depan. Tiga belas, pria yang diam di sayap kiri teater.
Tiga belas. Inikah yang dikatakan pria itu sebagai pembawa kesialan. Atau lebih buruk daripada itu, yang tak diketahui oleh Tara. Dan seketika itu juga, terjawablah pertanyaan yang sedari tadi belum terjawab di benak Tara, mengenai kecemasan petugas teater itu. Bukan Isna yang sesungguhnya dicemaskan olehnya, tapi seluruh penonton yang ada di teater ini. Isna adalah penonton keempat belas yang seharusnya bisa menyelamatkan kami semua. Seharusnya dia tidak menjemput adiknya agar hal ini tidak terjadi.
“Sekarang kita pasti sudah berada di alam lain yang mengekang kita. Tidak ada siapa-siapa di luar sana selain kita bertiga belas,” pria itu melanjutkan penjelasannya.
“Jadi pegawai bioskop dan semua orang… menghilang?” tanya Tara memastikan. Dia masih belum bisa mempercayai hal ini.
“Bukan mereka. Kitalah yang menghilang. Di sini, di saat yang sama, setelah lampu kembali menyala, di dunia yang sebenarnya merekalah yang mendapati kita bertiga belas menghilang. Sialnya, aku tidak menghitung jumlah penonton di sini sejak awal. Tahu begitu aku membatalkan nontonku malam ini,” sahut perempuan di depan Tara itu.
Menghilang? Lalu apa yang bisa mereka lakukan untuk keluar dari situasi ini?
“Omong kosong!” pria yang akan keluar tadi akhirnya melanjutkan langkahnya dengan bersungut-sungut. Dia terlihat sebal dengan situasi paranoid yang diciptakan oleh orang-orang sok tahu di bioskop ini.
“Ya, keluar saja! Dan kau akan menemukan dirimu sendirian terkunci di mall ini!” seru perempuan di depan Tara itu lagi.
Dingin. Itulah yang dirasakan oleh Tara saat ini. Bukan karena dinginnya AC, tapi karena ketakutannya sendiri. Dia pun lemas dan jatuh terduduk di tempatnya. Tara sebenarnya juga tidak mau mempercayai perempuan di depannya itu. Dia ingin mengikuti pria tadi, keluar dari sini. Tapi kakinya terlalu kaku untuk melangkah.
“J-jadi… hal ini benar-benar ada?” dengan terisak-isak, perempuan di bangku depan yang sedang menangis angkat bicara. “Aku juga pernah dengar akan hal ini.” Suaranya parau oleh tangisnya. Sesekali ia sesenggukan, pundaknya bergetar. “K-kita semua memasuki dunia yang terkunci dan tidak berpenghuni. Tiga belas orang… dan hanya ada satu cara untuk keluar dari sini…”
Harapan!
“Harus ada satu orang saja yang hidup di antara kita…”
Tara tercekat mendengarnya. Permainan apa ini? Ini pasti bohong. Ini pasti hanya reality show. Ini hanya lelucon.
Tiba-tiba semua menjerit dan berhamburan keluar Teater 3. Mereka semua lari tunggang langgang menghindari sesuatu. Untuk beberapa detik, Tara masih terdiam. Namun beberapa detik kemudian, dia sadar kalau ada yang berjalan ke arahnya. Dengan sebilah pisau tajam di tangan, pria yang dari tadi duduk diam di sayap kiri mendekati Tara. Matanya gelap dan dalam.
Tara menyentakkan dirinya agar sadar dari situasi berbahaya itu. Apa dia harus percaya dengan penglihatannya? Pria itu akan membunuhnya? Tara melempar gelas berisi popcorn karamel yang belum habis ke wajah pria itu. Dia pun lari turun dan berusaha menyusul penonton yang lain. Dia tak mau mati di tempat ini, di hari perayaan persahabatannya.
Bagaimana menurut teman-teman akan potongan adegan ini?
Sumber gambar: 13