Midnight (3) – Tiga Belas

13

13

“A..ada yang bisa beri tahu apa yang terjadi di sini?” tanya seseorang yang duduk paling belakang.

Sama seperti Tara, dia tak tahu apa yang menyebabkan kengerian ini. Selepas mati lampu, semua pegawai bioskop itu menghilang. Film tidak dilanjutkan. Semua penonton di Teater 3 ini seperti ditempatkan di dalam situasi dimana mereka harus pulang. Tak ada sesuatu yang bisa dilihat di sini.

“Halo!” seseorang berteriak ke arah belakang. Ke arah operator yang biasanya memutar film. “Ada orang di sana? Mana filmnya?”

Tak seorang pun menyahut.

“Sial! Padahal aku ingin melihat film ini!” keluh yang lain.

Tara berdiri di tengah penonton yang mengeluh. Mereka menyesali hal ini. Namun Tara merasakan hal yang lebih daripada itu. Pasti ada sesuatu yang tidak beres di sini. Dan seseorang yang duduk di depan Tara ini pasti mengetahui sesuatu sehubungan dengan menghilangnya para pegawai bioskop itu.

“Pulang saja!” ucap seseorang laki-laki dengan penuh kemarahan. Dia segera turun dari tempat duduknya.

“Memangnya kamu mau pulang kemana?” akhirnya orang di depan Tara kembali angkat bicara. Pertanyaannya aneh. Orang yang turun tadi langsung menghentikan langkahnya dan berpaling kepadanya. Begitu juga yang lain, kini memperhatikan orang itu.

Umurnya kelihatan tidak jauh di atas Tara. Seorang perempuan berkacamata dengan rambut diikat ke belakang. Dia masih berada di posisi duduk santainya. Ya, berbeda dengan yang lain, yang sudah siap meninggalkan Teater 3 ini.

“Pulang ke rumah lah!” jawab laki-laki tadi. Dia mengenakan jaket kulit yang tadi hanya disampirkan ke bahunya.

“Terlambat. Kita sudah tidak bisa pulang lagi,” jawab perempuan itu dengan suara yang begitu dalam.

“Hei, kalau ngomong jangan macam-macam ya!” seorang perempuan lain melabraknya. Dia terdengar tidak suka dengan ucapan menakutkan itu.

“Mmm… apa maksudmu kita tidak bisa pulang lagi?” seorang perempuan lain di belakang Tara bertanya dengan suara bergetar ketakutan.

Mendadak suasana semakin mencekam. Mereka yang ada di dalam bioskop itu terdiam, menantikan jawaban perempuan itu. Ada harapan di diri mereka kalau semua ini hanya main-main saja.

“Kita sudah kena kutukan,” jawab seorang pria bermata tajam yang tengah duduk di bangku depan paling ujung kanan. Dia tengah menyilangkan kakinya dan dia juga mengetahui apa yang diketahui perempuan itu. “Midnight. Dengan jumlah penonton tiga belas atau kurang dari itu, bisa dipastikan kalau tak akan ada yang selamat di antara kita semua.”

Tara ternganga. Dia masih belum mengerti dengan apa yang diketahui oleh kedua orang ini. Namun sementara pria itu melanjutkan kata-katanya, Tara melemparkan pandangannya ke seluruh penjuru teater. Dia mulai menghitung.

Satu, Tara sendiri. Dua, perempuan berkacamata di depannya. Tiga, pria yang juga mengerti masalah ini. Empat, pria berjaket kulit tadi. Lima, perempuan yang marah-marah. Enam, perempuan ketakutan di belakang Tara. Tujuh, pria kebingungan di bangku belakang. Delapan, pria yang tadi melambai ke ruang operator. Sembilan, pria yang terlihat sangat kecewa dengan terputusnya film ini. Sepuluh, perempuan yang tengah menangis di bangku depan. Sebelas, oh tidak… pria yang tengah sakau di dekat dinding sebelah kanan. Dua belas, pria bertopi di bangku depan. Tiga belas, pria yang diam di sayap kiri teater.

Tiga belas. Inikah yang dikatakan pria itu sebagai pembawa kesialan. Atau lebih buruk daripada itu, yang tak diketahui oleh Tara. Dan seketika itu juga, terjawablah pertanyaan yang sedari tadi belum terjawab di benak Tara, mengenai kecemasan petugas teater itu. Bukan Isna yang sesungguhnya dicemaskan olehnya, tapi seluruh penonton yang ada di teater ini. Isna adalah penonton keempat belas yang seharusnya bisa menyelamatkan kami semua. Seharusnya dia tidak menjemput adiknya agar hal ini tidak terjadi.

“Sekarang kita pasti sudah berada di alam lain yang mengekang kita. Tidak ada siapa-siapa di luar sana selain kita bertiga belas,” pria itu melanjutkan penjelasannya.

“Jadi pegawai bioskop dan semua orang… menghilang?” tanya Tara memastikan. Dia masih belum bisa mempercayai hal ini.

“Bukan mereka. Kitalah yang menghilang. Di sini, di saat yang sama, setelah lampu kembali menyala, di dunia yang sebenarnya merekalah yang mendapati kita bertiga belas menghilang. Sialnya, aku tidak menghitung jumlah penonton di sini sejak awal. Tahu begitu aku membatalkan nontonku malam ini,” sahut perempuan di depan Tara itu.

Menghilang? Lalu apa yang bisa mereka lakukan untuk keluar dari situasi ini?

“Omong kosong!” pria yang akan keluar tadi akhirnya melanjutkan langkahnya dengan bersungut-sungut. Dia terlihat sebal dengan situasi paranoid yang diciptakan oleh orang-orang sok tahu di bioskop ini.

“Ya, keluar saja! Dan kau akan menemukan dirimu sendirian terkunci di mall ini!” seru perempuan di depan Tara itu lagi.

Dingin. Itulah yang dirasakan oleh Tara saat ini. Bukan karena dinginnya AC, tapi karena ketakutannya sendiri. Dia pun lemas dan jatuh terduduk di tempatnya. Tara sebenarnya juga tidak mau mempercayai perempuan di depannya itu. Dia ingin mengikuti pria tadi, keluar dari sini. Tapi kakinya terlalu kaku untuk melangkah.

“J-jadi… hal ini benar-benar ada?” dengan terisak-isak, perempuan di bangku depan yang sedang menangis angkat bicara. “Aku juga pernah dengar akan hal ini.” Suaranya parau oleh tangisnya. Sesekali ia sesenggukan, pundaknya bergetar. “K-kita semua memasuki dunia yang terkunci dan tidak berpenghuni. Tiga belas orang… dan hanya ada satu cara untuk keluar dari sini…”

Harapan!

“Harus ada satu orang saja yang hidup di antara kita…”

Tara tercekat mendengarnya. Permainan apa ini? Ini pasti bohong. Ini pasti hanya reality show. Ini hanya lelucon.
Tiba-tiba semua menjerit dan berhamburan keluar Teater 3. Mereka semua lari tunggang langgang menghindari sesuatu. Untuk beberapa detik, Tara masih terdiam. Namun beberapa detik kemudian, dia sadar kalau ada yang berjalan ke arahnya. Dengan sebilah pisau tajam di tangan, pria yang dari tadi duduk diam di sayap kiri mendekati Tara. Matanya gelap dan dalam.

Tara menyentakkan dirinya agar sadar dari situasi berbahaya itu. Apa dia harus percaya dengan penglihatannya? Pria itu akan membunuhnya? Tara melempar gelas berisi popcorn karamel yang belum habis ke wajah pria itu. Dia pun lari turun dan berusaha menyusul penonton yang lain. Dia tak mau mati di tempat ini, di hari perayaan persahabatannya.

Bagaimana menurut teman-teman akan potongan adegan ini?

Sumber gambar: 13

Midnight (2) – Hilang

Mereka menghilang

Mereka menghilang

Lampu di dalam Teater 3 sudah dimatikan. Sebuah cuplikan trailer film ‘coming soon’ sedang diputar. Tara berjalan sambil meraba-raba kegelapan di matanya. Dari posisinya sekarang, Tara perlu naik beberapa tingkat untuk sampai ke kursinya. Dia pun naik sambil membawa dua kantong popcorn rasa karamel.

Dan kursi empuk itu segera membuatnya nyaman. Namun alangkah lebih baik seandainya semua sahabatnya itu berkumpul di sini. Semua akan terasa lebih menyenangkan jika bersama dengan mereka yang satu pemikiran. Tara sangat menyayangkan harinya ini.

Mengenai kecemasan petugas tadi, mungkin memang benar berhubungan dengan jumlah penonton midnight ini. Tara berusaha menembuskan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Penonton di sini sedikit sekali, kurang dari 15 orang. Tara baru tahu kalau jumlah penonton ini akan menjadi beban bagi para pegawai bioskop. Jumlah sedikit sama dengan kemarahan bos. Tara geleng-geleng kepala sendiri.

“Ah buat apa dipikirkan,” batin Tara.

Tak lama kemudian muncul serombongan penonton lainnya. Hal ini mencuri perhatian Tara. Akhirnya para pegawai itu akan lebih tenang karena jumlah penonton malam ini sudah lebih banyak. Tapi… tunggu dulu! Mereka semua kan pegawai bioskop ini sendiri!

Mereka semua berpencar ke seluruh penjuru Teater dan duduk mendampingi masing-masing penonton. Tara sendiri didampingi oleh petugas yang menerima tiket masuknya tadi. Wajah cemas masih ada padanya. Dan petugas itu tak pernah lepas memandanginya. Tara jadi tidak bisa menikmati nontonnya kali ini. Dia merasa risih.

“Ini ada apa, mbak? Kok semua pegawainya nonton juga?” tanya Tara pada akhirnya.

“Teman mbak tadi mana? Sampai jam berapa keluarnya?” petugas itu malah balik bertanya. Dan dia menanyakan keberadaan Isna.

Tara sendiri tidak bisa menjawabnya. Kediamannya membuat wajah cemas petugas teater itu semakin jelas terlihat, meskipun dalam kegelapan.

Kecemasan ini membuat Tara semakin penasaran. Memangnya apa yang mereka ketahui dan mereka cemaskan dengan sahabatnya itu? Mengapa mereka begitu menantikannya?

“Memangnya ada apa dengan teman saya, mbak? Apakah akan terjadi sesuatu pada dia?” Tara jadi ikut-ikutan panik. Isna adalah sahabat akrabnya, lebih daripada Noe dan Maya. Tentunya Tara tidak mau hal buruk terjadi pada dirinya.

“Bukan mbak,” jawab petugas itu. “Tidak ada hal buruk yang akan menimpanya.”

“Lalu?” tanya Tara lagi. Dia ingin mengorek lebih dalam sumber kecemasan petugas itu. Dia membuat Tara tak mengerti. Petugas teater itu membuatnya penasaran. Tara tidak suka dengan hal ini.

“Maaf. Saya tidak bisa memberitahu,” katanya sambil memalingkan muka. Mulutnya langsung tertutup rapat. Dia sudah menularkan kecemasan itu pada Tara dan dia tidak mau bertanggung jawab. Kalau seperti ini keadaannya, Tara merasa harus mencari tahu jawabannya sendiri.

Dia pun berdiri dari tempat duduk dan melangkahi petugas teater itu. Namun lengan Tara dipegang erat olehnya. “Jangan pergi!” kata petugas teater. Dia mendorong Tara kembali ke tempat duduk.

“Lalu kenapa? Aku cemas dengan sahabatku. Apa aku tidak boleh tahu apa yang akan terjadi padanya?” Tara nyaris memekik.

Seketika itu juga seluruh penonton merasa terganggu karenanya. Tara pun terdiam dan kembali ke tempat duduk. Kali ini ganti Tara yang memegangi lengan petugas teater itu. Dia minta penjelasan atas semua yang tersirat di wajah cemas itu.

Petugas teater itu tampak memikirkan banyak hal. Dia seperti berada dalam keadaan ingin dan tidak ingin memberitahukan alasannya kepada Tara. Alasan atas kecemasannya. Dan akhirnya yang ia ucapkan, “Mbak hanya bisa menunggu teman mbak ke sini. Tak ada yang lain.”

Tak cukup memuaskan. Tara sudah lelah mendengarkannya.

“Tiga belas,” kata seorang penonton di depan Tara secara tiba-tiba. Perhatian Tara langsung mengarah padanya. “Jumlah yang pas!” katanya lagi.

Tiba-tiba lampu mati. Layar mati. Seluruh Teater 3 ditelan kegelapan yang membuat para gadis menjerit. Tara terhenyak dengan kejadian mengejutkan ini. Dan seketika itu juga muncul perasaan kacau dan tidak mengenakkan di sekelilingnya.

“Kok mati lampu sih?”

“Ah, sial!”

“Eh ada apa ini?”

Tara tak bisa beranjak dari tempat duduknya selagi tak ada cahaya yang tertangkap oleh matanya. Hawa ngeri yang mencekam serta merta meraba tengkuk Tara. Suasana di dalam bioskop ini menjadi dingin. Bukan karena dinginnya AC, tapi karena hal lain yang tidak biasa. Sesuatu yang membuat tidak nyaman dan membuat Tara ingin lekas pulang.

TAP! Lampu menyala. Dan mata Tara menangkap sesuatu yang ganjil di ruangan ini. Semua pegawai bioskop yang mendampingi penonton tadi menghilang, termasuk petugas teater di sebelah Tara. Di ruangan itu tinggal para penonton yang juga merasakan keterkejutan yang sama seperti Tara.

“Semuanya sudah dimulai,” kata orang di depan Tara tadi.

Bagaimana menurut teman-teman akan potongan adegan ini?

Sumber gambar: Mereka menghilang

Midnight (1) – Ditinggal Sendiri

Nonton Film

Nonton Film

Tara duduk sambil memandangi dua lembar tiket bioskop di tangannya. Tak salah lagi, kali ini dia mendapatkan tempat duduk paling nyaman, yaitu di tengah. Posisi paling pas untuk melihat, mendengar, dan menikmati sajian film berdurasi kurang lebih 120 menit itu. Satu tiket untuk sahabatnya, Isna, dan satu untuk dirinya sendiri.

Isna sedang membeli popcorn di kafetaria. Karena sebentar lagi film yang mereka pilih akan segera diputar, maka ini adalah saat yang tepat untuk membeli cemilan. Tara pikir tak akan pernah enak menikmati film tanpa mengunyah cemilan. Dan berhubung saat ini adalah ulang tahunnya, maka tak ada salahnya kalau dia minta hadiah dari sahabatnya itu.

“Anggap saja kalau ini adalah balasan atas hadiahmu di ulang tahunku kemarin,” ucap Isna sambil memberikan popcorn karamel kepada Tara.

“Thanks ya!” dengan senang hati Tara menerimanya.

Malam ini mereka memutuskan untuk menonton film. Tak ada rencana khusus sebenarnya dan tak ada film yang benar-benar ingin mereka lihat. Mereka hanya ingin merayakan hari pertama mereka bertemu dan menjadi sahabat. Sebenarnya masih ada dua lagi sahabat mereka yang lain. Namun rupanya mereka berdua sedang ada acara lain.

“Sayang sekali Noe dan Maya tidak bisa ikut,” ucap Tara sambil menunjukkan tiket bioskop mereka kepada Isna. Sesaat Isna menampakkan wajah girang karena mereka mendapatkan kursi di tengah, posisi strategis.

“Memangnya yang mau nonton malam nanti sedikit ya? Kok kamu gampang banget dapat di tengah,” tanya Isna seraya mengembalikan tiket itu.

“Iya. Sepi. Padahal kata Noe film ini banyak yang kepingin nonton,” Tara mengingat-ingat percakapannya siang tadi dengan Noe si penikmat film. Katanya, film thriller ini lain dari biasanya. Dan berhubung dirinya dan Isna adalah cewek yang kebal sama film horor, akhirnya mereka setuju saja untuk melihatnya malam ini.

Noe dan Maya memang bukan penikmat thriller layaknya Tara dan Isna. Namun mereka tidak akan pernah menolak ajakan untuk nonton di bioskop. Hanya saja kali ini mereka benar-benar tidak bisa ikut. Noe harus membantu orang tuanya melakukan persiapan untuk resepsi pernikahan kakaknya besok. Sementara Maya sedang dibebani deadline pekerjaan sampingannya sebagai penulis lepas. Alhasil, tinggal Tara dan Isna seorang yang akan merayakan hari jadi persahabatan mereka malam ini.

Waktu menunjukkan pukul 23.30. Tinggal beberapa menit lagi hingga Teater 3 dibuka. Mungkin saat ini para petugas bioskop sedang membersihkan tempat di dalam sana. Tara dan Isna hanya bisa menunggu, sama seperti penonton yang lain.

“Teater 3 sudah dibuka!” suara pengumuman mengundang beberapa orang yang sedang menunggu untuk berdiri dan mengantri di depan pintu Teater 3.

Tara dan Isna langsung lega karena mereka tak perlu lagi melakukan hal membosankan itu, menunggu. Mereka berdua pun memasang badan di barisan paling belakang.

“Eit, tunggu sebentar ya!” tiba-tiba Isna mendapatkan telepon. “Tolong bawain ini, Tara!” ucapnya sambil memberikan popcorn-nya. Isna keluar dari barisan sementara Tara terus melangkah maju seiring diperiksanya tiket para penonton di Teater 3.

Sementara tiket Tara dan Isna akan diterima oleh penjaga Teater 3, Isna masih menerima telepon.

“Tunggu teman saya dulu ya, mbak,” kata Tara kepada gadis penjaga itu. Tak lama kemudian Isna kembali dengan wajah sedikit canggung. Hal ini mengundang rasa penasaran dan kekecewaan Tara. “Ada apa?” Dia merasa sesuatu yang buruk akan terjadi.

“Ini. Adikku minta jemput di stasiun. Bagaimana ini?” tanya Isna.

Meskipun Tara merasa sayang akan semua waktunya yang telah terbuang untuk menunggu film ini, akhirnya ia hanya bisa mengatakan, “Ya kalau begitu kita batalin saja acara nonton ini.”

“Jangan!” Isna tiba-tiba menyahut. “Kamu lanjut aja!”

“Tapi apa gunanya coba, merayakan hari penting persahabatan kita sendirian? Nggak asyik kan!” Tara tak bisa menyembunyikan kecewanya.

“Ya tapi gimana lagi dong?” Isna juga menyesal. “Kamu lanjut aja! Aku cepet kok. Habis jemput adikku, aku langsung ke sini. Sini tiketku!”

Tara pun menyobek tiketnya dan memberikan bagian Isna. Mereka berdua pun berpisah. Isna berlari secepat kilat menjemput adiknya, karena dia tak mau membuat sahabatnya menunggu. Sementara dengan lesu, Tara kembali membawa tiketnya kepada petugas itu.

“Lho, temannya tadi kemana, mbak?” tanya petugas itu. Bukan dengan nada yang sok akrab, tapi dengan nada yang sangat kehilangan. Nada cemas.

“Mau jemput adiknya,” jawab Tara tak bertenaga. Dia benar-benar tidak suka ditinggal sendirian seperti ini.

“Aduh, gimana dong?” petugas itu seperti sangat menyayangkan kejadian ini. Namun lebih dari itu, dia cemas. Tara mendapati petugas itu bertukar pandang dengan temannya yang lain. Mereka berdua menunjukkan ekspresi yang sama. Cemas.

“Ada apa, mbak?” tanya Tara tidak mengerti. “Nanti teman saya kembali kok.”

Sedikit perasaan lega muncul di kedua petugas itu. Lalu salah satu di antaranya bertanya, “Tapi benar kan mbak? Nanti temannya itu balik lagi?” Pengulangan pertanyaan untuk kepastian.

“Iya,” Tara tersenyum. “Kenapa mbak? Kalau penontonnya kurang dimarahi sama bosnya?” Kedua petugas itu hanya bisa tersenyum sungkan. Tara pun berjalan memasuki Teater 3. Namun ia masih merasakan hawa kecemasan dari kedua petugas itu. Apakah akan terjadi sesuatu pada Isna? Mengapa mereka sangat mengkhawatirkan Isna?

Bagaimana menurut teman-teman akan potongan adegan ini?

Sumber gambar: Nonton film