Sebuah Tantangan Dari Asma Nadia

“Apa yang membuatmu harus mendapatkan buku ini?” tanya Mbak Asma Nadia dengan tegasnya. Pertanyaan itu tertuju padaku, hanya untukku. Aku tahu itu karena sepasang mata dan tubuh penulis ternama itu condong ke arahku. Aku tahu kalau seisi ruangan seminar saat ini juga menghujamkan perhatian mereka kepadaku, seorang laki-laki biasa yang semula tak dipedulikan keberadaannya. Buku tipis berwarna kuning itu masih terangkat oleh tangan Mbak Asma, dicondongkan padaku. Buku itu adalah alasan yang membuat Mbak Asma memberikan pertanyaan kepadaku. Sebuah pertanyaan yang diberikan seorang penulis luar biasa kepada penulis wanna be sepertiku.

Aku tertegun. Ini bukan pertanyaan yang menekan dan menakutkan. Ini bukan pertanyaan yang sulit dan membingungkan. Namun, bagaimana Mbak Asma menanyaiku, seketika itu juga membuatku nyaris mengenakan jubah pertahananku. Aku merasa dipojokkan sementara perhatian yang diberikan seorang Asma Nadia kepada nobody sepertiku juga membawa perhatian peserta seminar lainnya. Beberapa detik pertanyaan itu mengubah suasana damai ruang seminar menjadi bilik penghakiman dengan seluruh ujung tombak mengarah ke badanku.

Tak ada lagi kediaman atau langkah mundur. Aku sudah melakukannya dan aku harus menjawabnya. Kutepis ketakutanku akan kesalahan dan menggantikannya dengan semangat yang menyertai rasa kesalku bersama acungan jari telunjuk.

“Ini karena… karena saya sangat mencintai dunia menulis,” ucapku terbata-bata. Lidahku terlipat. “Saya sangat suka menulis dan… dan saya selalu ingin mendapatkan berbagai macam ilmu dari setiap buku yang saya baca.”

Di situlah kata-kataku terhenti. Tak ada perubahan yang berarti dari ekspresi wajah Mbak Asma. Tak seorang pun tahu bahwa saat itu jantungku terasa mau pecah. Aku begitu nervous. Mulutku langsung terkatup dan menyisakan kalimat yang masih tertahan di otak. “Saya ingin mendapatkan ilmu di buku itu, sehingga saya harus mendapatkan buku itu.”

“OK! Saya akan memberikan buku ini kepada kamu,” kata Mbak Asma. Ketegangan di telingaku mengendur. “Tapi dengan satu hal,” ucap beliau dengan nada menggantung. Rasa bahagiaku mengendalikan otak untuk memasang wajah serius ketika mendengar kelanjutan kalimat Mbak Asma. Kalimat yang terdengar seperti sebuah tantangan yang hanya diberikan kepadaku saja.

* * * * *

Surabaya, 9 April 2011Pagi itu gedung Pasca Sarjana ITS tampak berdiri dalam kesunyian seperti biasa. Bangunan yang terletak beberapa meter dari purpustakaan pusat ITS ini selalu memukauku dengan suasana sepinya yang menipu. Berbagai macam event besar sudah dilakukan di tempat ini. Banyak orang terkenal yang telah menjadi pengisi acara di dalam gedung ini. Setiap aku terlibat sebagai peserta pada suatu acara di gedung ini, aku selalu bertanya-tanya, “Apakah aku mendatangi tempat yang benar?” Namun, kiranya spanduk yang termasang di pintu depan meyakinkanku bahwa benar-benar ada panitia yang sedang bekerja di tempat ini.

Saat itu, aku dan sahabatku berdiri di depan gedung sambil melihat lagi spanduk kegiatan yang akan kami ikuti sebentar lagi. POSEIDON 2011. Acara ini adalah sebuah seminar nasional mengenai kepenulisan populer yang diadakan oleh Departemen Media dan Informasi (Medfo) BEM ITS. Acara dengan tagline “Menjadi Penulis Bukan Hanya Impian” ini sudah kunanti-nantikan sejak publikasi yang dilakukan sebulan yang lalu. Menurutku, acara ini akan banyak dihadiri oleh mereka yang sangat mencintai dunia menulis, atau mungkin mereka yang ingin mencintai dunia menulis, atau juga mereka yang suka membaca karya-karya dari para pembicaranya.

Di spanduk tersebut, tertulis dua nama pembicara yang bagiku sudah termasuk nama orang papan atas. BOIM LEBON dan ASMA NADIA. Dua nama ini sudah kuketahui, tapi belum kukenal. Saat ini aku hanya mengetahui sekilas karya-karya beliau. Aku hanya tahu sedikit. Sejauh yang kuingat, nama Boim Lebon selalu menyertai nama Hilman dalam serial Lupus, sementara Asma Nadia adalah penulis buku Emak Ingin Naik Haji yang fenomenal dan difilmkan. Itu saja. Sedikitnya pengetahuanku mengenai kedua tokoh ini meyakinkanku kalau aku adalah penulis yang sedikit membaca. Apakah ini karena kurangnya kemampuanku untuk membeli buku? Atau apakah karena aku terlalu pilih-pilih saat membeli buku? Apapun itu, mulai saat ini aku harus mengetahui lebih banyak tokoh-tokoh yang bekerja di bidang kepenulisan ini.

Motivasi a la Boim Lebon

Ini adalah seminar kepenulisan kedua yang kuikuti selama beberapa pekan ini. Pada seminar sebelumnya, aku mendapatkan Raditya Dika sebagai pembicara dan sukses mengikuti setengah perjalanan seminar sambil memegangi perut. Pun kali ini, pembicara Boim Lebon sukses membuatku terpingkal-pingkal lewat candaan cerdas dan menggelitiknya. Gaya kocak yang dilakukan ini tentunya strategi yang dilakukan beliau untuk mewarnai seminar agar lebih menyenangkan dan tidak membosankan. I like it!

Boim Lebon(sumber gambar: di sini)

Sosok yang baik hati, bersahaja, kocak, dan cerdas. Itulah kesan yang kudapatkan setelah melihat penampilan seorang Boim Lebon sebagai pembicara. Pada seminar ini, tema yang diangkat oleh Mas Boim adalah Mendongkrak Motivasi untuk Menulis Karangan Populer. Sebagai seorang penulis yang lebih senior (baca: lebih banyak pengalaman, Red.), banyak hal yang beliau bagikan agar jiwa-jiwa yang berada di ruang seminar ini semakin tergerak hatinya untuk mulai menulis.

Mas Boim membuka perkenalan dengan mengajak seluruh peserta tertawa lewat ceritanya. Perkenalan yang tidak biasa bagiku. Mas Boim bercerita tentang Bocah Impian (Boim) yang terlahir sangat tampan sampai menjadi rebutan para suster dan pujaan para bayi, hingga berakhir tragis karena ketampanannya memudar seiring seringnya diciumi oleh para suster. Aku yakin itu hanyalah fiktif belaka.

Perkenalan pun dilanjutkan melalui CV beliau yang benar-benar membuatku geregetan. Mengapa? Mas Boim adalah seorang penulis yang sudah menghasilkan banyak karya, baik itu karyanya sendiri atau yang dibuat bersama penulis lain, baik novel, cerpen, naskah drama, maupun karya fiksi lainnya. Pada slide presentasi dimunculkan cover novel-novel yang sudah dihasilkan oleh penulis sekaligus produser RCTI ini. Selain serial Lupus, ada judul-judul karangannya yang lain seperti Suparman Pulang Kampung, Padapanik Award, Badman: Bidin, Republik Mimpi, Ayat Amat Cinta, Maryam Mah Kapok, Trio Bebek, Komeng Undercover, dan masih banyak lagi.

Mas Boim bercerita mengenai proses pembuatan novel-novel tersebut yang beraneka ragam. Selain proses kreatif yang dilakukan sendiri alias mikir ide, ternyata kita juga bisa menghasilkan karya-karya setelah melakukan wawancara kepada orang lain. Dalam hal ini, Mas Boim mencontohkan wawancara pada beberapa artis seperti Komeng dan The Changcuters. Kita juga bisa menghasilkan karya yang terinspirasi dari karya yang lain. Karena Mas Boim adalah penulis beraliran komedi, jadi tidak aneh kalau muncul karya-karya plesetan Ayat-ayat Cinta dan Maryamah Karpov di rak-rak toko buku.

Hal ini jadi mengingatkanku bahwa ide itu bisa diambil dari mana saja. Tidak hanya itu, ide juga bisa muncul dari berbagai proses yang berbeda. Kita tidak harus berusaha keras mencari ide itu dengan kepala sendiri. Berinteraksi dengan orang lain juga bisa membawa kita pada kemunculan suatu ide. Peka pada lingkungan sekitar, membuat asumsi dari sebuah gambar, hingga memperhatikan karakter teman, juga membantu kita untuk menciptakan sebuah ide yang akan berkembang menjadi sebuah novel. Melihat hal ini, kita jadi yakin bahwa ide merupakan suatu ketidakberbatasan yang indah. Kenyataan ini menjadikan profesi penulis bisa dimiliki oleh siapa saja, termasuk adik-adik yang masih kecil sekalipun.

Motivasi a la Asma Nadia

Beda Mas Boim, beda pula Mbak Asma Nadia. Pertama kali mendengar suara beliau saat membuka materi sesi kedua, aku merinding. Aku tidak tahu artinya, mungkin sebuah pujian, yang diucapkan dengan pelafalan yang sangat fasih dan… sejuk. Ya, sebuah awal yang baik untuk membuat seluruh peserta merasa siap untuk menerima materi. Mendengar gaya bicara Mbak Asma, bagiku beliau sangat tegas. Namun, kemampuan beliau menyelipkan cuilan-cuilan canda di saat yang tepat, berhasil mempertahankan mata dan telinga peserta untuk tetap terbuka dan fokus.

Asma Nadia(sumber gambar: di sini)

Asma Nadia, ketua Forum Lingkar Pena, tokoh Perubahan Republika 2010, mengangkat materi dengan tema Menulis dan Menerbitkan Karangan Populer itu Mudah. Meskipun materi motivasi sudah diberikan oleh Mas Boim, Mbak Asma juga memberikan sedikit materi motivasi sebagai pembuka yang tentunya semakin memperkaya wawasan peserta seminar ini.

Tidak ada orang yang malas, yang ada hanyalah orang yang tidak punya motivasi.

Siapa saja mungkin tidak akan berhasil membuat sebuah buku kalau tidak memiliki motivasi untuk membuatnya. Ya, pasti ada alasan untuk melakukannya, sekecil apapun itu. Ingin membahagiakan orang tua merupakan salah satu motivasi yang juga menjadikan sosok Asma Nadia seperti yang saat ini kita kenal. Pengalaman hidup yang beliau alami menjadikan motivasi ini sebagai motivasi terbesar yang membawa beliau sebagai seorang penulis besar. Motivasi lainnya yang menyentuh hatiku adalah:

Menulis menjadikan kita abadi.

Untuk saat ini, kita bisa saja melakukan banyak hal. Namun, ketika tiba saatnya nanti kita kembali pada Sang Pencipta, bagaimana kita bisa melakukan sesuatu kalau bukan melalui tulisan kita? Kita bisa membuat orang tertawa, kita bisa mengajari, kita bisa berbagi pengalaman, kita bisa menghibur orang. Tidak hanya satu tempat dan satu waktu, melalui tulisan kita bisa melakukan semua itu dimana saja dan kapan saja. Kita bisa berada di berbagai tempat dalam suatu waktu. Dengan menulis, selain kita bisa memberikan sesuatu, kita juga bisa menerima sesuatu. Banyak sekali pengalaman-pengalaman berkesan yang diungkapkan Mbak Asma selama menjadi penulis, seperti jalan-jalan ke berbagai negara.

Setelah poin mengapa, sekarang saatnya poin bagaimana. Menurut Mbak Asma, kemampuan dasar yang patut dicapai untuk sukses menulis populer adalah dengan menulis cerpen. Cerpen merupakan bentuk karya paling sederhana yang mampu melatih kemampuan seseorang dalam menulis populer melalui kemampuan deskripsi dan penyampaian pesannya. Dan sebagai wejangan, seorang istri dan ibu dari 2 anak ini mengungkap 7 ‘dosa’ yang perlu diperhatikan oleh penulis pemula, mulai dari judul, opening, hingga ending dan hal-hal lainnya. Begitu banyak pengetahuan tambahan yang muncul dari sesi tanya jawab yang tak mungkin kutuliskan di sini seluruhnya. (Poin-poin penting dari materi Mas Boim dan Mbak Asma akan ada pada posting sendiri. Tunggu ya! Red.)

Poseidon 2011 All Day

Kalau dilihat secara general, acara ini terdiri dari bazaar buku, book signing, dan seminar. Buku apa saja yang ada di bazaar? Tentu buku-buku Mas Boim dan Mbak Asma. Buku apa saja yang di-signing? Tentu saja buku-buku Mas Boim dan Mbak Asma. Siapa aja yang jadi pembicara di seminar? Pastinya Mas Boim dan Mbak Asma, seperti yang sudah diceritakan baru saja.

Sebagai seorang blogger, mahasiswa, dan penulis pemula yang menjadi peserta di acara ini, overall aku cukup puas dengan pelaksanaan acara ini. Aku sangat senang dan beruntung memiliki kesempatan untuk mengikuti acara yang bertajuk seminar nasional ini. Meskipun aku memberikan nilai sangat baik karena dua pembicara yang mengisi seminar ini sangat hebat dan mampu menguasai acara, panitia Poseidon 2011 juga patut mendapatkan tepuk tangan dan acungan jempol. Aku dan sahabatku, yang berbeda bacaan kesukaan, sama-sama merasa puas dengan acara ini.

Harapannya, tentu saja acara seperti ini akan diadakan lagi dan dengan pembicara yang berbeda. Karena setiap pembicara memiliki ilmu yang berbeda dan setiap saat akan selalu ada orang yang membutuhkan motivasi untuk menulis. Hal ini terbukti dari peserta yang tidak hanya dari Surabaya saja. Ya, acara ini sangat berguna bagi mereka yang mencari motivasi, kehilangan motivasi, maupun yang butuh pembangkit motivasi. Semoga akan ada lagi Poseidon di tahun-tahun berikutnya.

Setelah mengikuti seminar ini, aku mendapatkan begitu banyak pelajaran berharga. Untuk menjadi penulis, aku harus menemukan motivasiku sendiri. Aku harus banyak membaca, berbagi dengan orang lain, dan memperhatikan lingkungan agar kemampuan dan wawasan menulisku semakin kaya. Aku harus banyak berlatih dan tidak pernah menyerah pada kegagalan (seperti ditolak majalah atau penerbit, Red.). Terlebih lagi, aku menulis untuk menjadi berguna bagi orang lain, maka aku tak akan pernah berhenti menulis.

* * * * *

Aku dan sahabatku pun naik ke lantai tiga, registrasi, masuk ke ruangan seminar, duduk paling depan, dan entah mengapa terasa sangat dingin. Suhu ruangan di sini dipasang sangat rendah. Awalnya kami kira hanya perasaan kami saja. Namun ternyata peserta yang lain juga mengeluhkan hal yang sama. Ya ya ya, mungkin juga karena masih pagi. Nanti kalau acara seminar ini memanas, pastinya sedingin apapun AC-nya tidak akan terasa.

Seminar mengalir dengan gelak tawa dan decak kagum. Kadang sunyi, kadang riuh rendah oleh tawa. Kedua pembicara benar-benar menguasai suasana dan menghipnotis para peserta. Mereka sangat menarik, mereka terasa nikmat untuk didengarkan, mereka sangat interaktif. Keakraban pada kedua pembicara membuat suasana seminar ini semakin hangat. Aku begitu takjub melihat antusiasnya para peserta dalam menanggapi pembicara-pembicara hebat ini. Ya, selalu seperti itu untuk setiap seminar yang kuikuti.

Aku terbawa suasana itu. Aku duduk di depan, aku punya tangan, aku punya pertanyaan. Biasanya aku terdiam di tempat duduk dengan tangan hanya terkepal di atas meja. Tapi tidak, jangan untuk kali ini. Aku benar-benar ingin tangan ini terangkat dan menunjukkan kalau aku punya keberanian.

“Mbak yang jilbab biru. Mbak yang di atas. Trus Mas yang itu…”

Dengan sedikit kecewa, tanganku turun.

Berulang kali ada sesi yang mengharuskan peserta mengacungkan jari, berulang kali pula aku kecewa. Bukan karena menyesal harus melewatkan buku-buku yang dibagikan gratis itu, bukan! Pertanyaan yang tak terjawab ini sudah menyiksaku. Tanganku kesemutan. Sesi Mas Boim terlewat, huft… mungkin aku bisa melakukannya lagi di sesi Mbak Asma.

Akan tetapi, sama saja. Tanganku masih tidak dilihat. Tanganku transparan. Mbak Asma berjalan dari tempat duduk pembicara ke tengah-tengah peserta, lebih dekat. Mbak Asma bercerita tentang kenalannya yang begitu bersemangatnya ingin menjadi seorang penulis. Semangat yang membara, aku punya itu. Tapi untuk selanjutnya, ketika beberapa waktu kemudian kenalan itu hanya bersemangat tanpa melakukan apa-apa, aku tidak mau seperti itu.

Hingga sesi Mbak Asma berakhir, aku panik! Tak seorang pun melihat tanganku. Sesi yang diakhiri dengan pembagian buku itu berlalu dan meninggalkan keinginan terbesarku untuk bertanya. Apakah benar tak seorang pun bisa melihat tanganku? Ini tanganku! Tanganku terangkat!

“Ternyata bukunya masih tersisa satu. Begini saja, siapa yang merasa ingin mendapatkan buku ini?” tanya Mbak Asma sambil mengangkat buku terakhir.

Tanganku masih terangkat. Hatiku berteriak, “Mbak Asma, lihat tanganku, Mbak! Di sini ada aku!” Entah seperti apa wajahku saat itu, aku merasa sangat serius dan memfokuskan diri pada mata penulis besar itu.

Mata Mbak Asma Nadia menelusuri wajah-wajah peserta yang juga mengangkat tangannya. Dan pandangan itu berhenti ke arahku.

Seketika itu juga anganku berjalan mundur, kembali pada saat-saat istirahat siang tadi. Ishoma: istirahat, sholat, dan makan. Aku dan kedua temanku sedang menikmati makan siang dari panitia di lantai bawah. Kami sedang mengobrol saat sebuah mobil berhenti di depan gedung. Kami bertiga menoleh. Salah seorang temanku berkata, “Asma Nadia”. Dan itu adalah kali pertama aku melihat wajah penulis Emak Ingin Naik Haji itu. Ketika kedua temanku kembali menikmati santap siangnya, aku masih terpaku memandangi beliau berjalan masuk. Seorang Asma Nadia masuk, mendapati diriku dan tersenyum. Aku membalas senyum itu sambil mengangguk. Ya Tuhan! Aku melihat Asma Nadia.

“Apa yang membuatmu harus mendapatkan buku ini?” tanya Mbak Asma Nadia dengan tegasnya. Lamunanku buyar. Pertanyaan itu tertuju padaku, hanya untukku.

“Ini karena… karena saya sangat mencintai dunia menulis,” ucapku terbata-bata. Lidahku terlipat. “Saya sangat suka menulis dan… dan saya selalu ingin mendapatkan berbagai macam ilmu dari setiap buku yang saya baca.”

Apakah Mbak Asma melihat keinginan besarku untuk menjadi seorang penulis? Aku benar-benar ingin. Aku tidak mau menjadi seperti orang yang dicontohkan Mbak Asma tadi. Aku tidak mau seperti itu.

“OK! Saya akan memberikan buku ini kepada kamu,” kata Mbak Asma. Ketegangan di telingaku mengendur. “Tapi dengan satu hal,” ucap beliau dengan nada menggantung. Rasa bahagiaku mengendalikan otak untuk memasang wajah serius ketika mendengar kelanjutan kalimat Mbak Asma. Kalimat yang terdengar seperti sebuah tantangan yang hanya diberikan kepadaku saja. “Kamu buat kesimpulan acara ini mulai awal sampai akhir. Nanti kamu pasang tag ke fan page. Bagaimana?”

“SIAP!” jawabku ketika seisi ruang seminar mendadak senyap.

“Kalau begitu buku ini buat kamu. Saya tunggu tulisannya,” ucap Mbak Asma.

Aku berlari ke depan dan menyambut buku itu. Ya, ini adalah salah satu lompatan besar yang sudah aku lakukan. Aku terlalu banyak diam. Kejadian ini mengingatkan aku bahwa tidak selamanya diam itu baik untukku. Terima kasih banyak, Mbak Asma Nadia.

Buku dan TTD Mbak Asma Nadia(sumber gambar: di sini)

Aku kembali ke tempat dudukku, di sebelah sahabatku. Setelah kejadian ini, aku semakin yakin kalau aku harus bergerak untuk menjadi seorang penulis yang sebenarnya. Seperti Mbak Asma, seperti Mas Boim, dan seperti penulis-penulis lainnya. Akan segera kuselesaikan review acara ini.

* * * * *

Dan aku pun teringat bahwa pertanyaan yang menyiksaku belum terjawab.

  1. Bagaimana caranya bergabung dengan Forum Lingkar Pena? Aku sudah mencari-cari informasi tentang ini dan berakhir dengan tersesat di internet.
  2. Pernah ada suatu pendapat bahwa saat ini kumpulan cerpen tidak menarik minat pembaca. Apa itu benar? Bagaimana pendapat Mas Boim dan Mbak Asma?

11 thoughts on “Sebuah Tantangan Dari Asma Nadia

  1. artikelnya sangat bagus, menarik, satu kalimat yang selalu aku ingat “Kejadian ini mengingatkan aku bahwa tidak selamanya diam itu baik untukku”. Kalo dipikir-pikir, betul juga, mungkin aku terlalu banyak diam selama ini, berlindung dalam sifat diamku.
    AKU TUNGGU BUKUNYA!!! (Pingin menerbitkan buku kan!)

Tinggalkan Balasan ke Arief Rakhman Batalkan balasan